LPRS 2

    Sudah beberapa hari aku tinggalkan buku di kamar ku, hari ini aku lanjutkan membaca buku karya Pramoedya Ananta Toer "Rumah Kaca", lanjutan dari Roman tetralogi Pulau buruh yang terakhir. Buku sebelumnya telah selesai kubaca "Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa lalu Jejak Langka".

    Dari buku-buku itu, aku banyak mengetahui tentang sejarah mula mula pergerakan bangsa Indonesia dan awal mula perkembangan jurnalisitik indonesia. Dari seorang minke (tokoh utama) dari Novel tsb sedikit banyak mampu merubah caraku dalam berpikir dan menilai sesuatu dengan lebih objektif, salah satu pesan dalam narasi novelnya yang masih ku ingat adalah "Adil sejak dalam pemikiran".

    Sungguh!! begitu mengesankan pesan pesan yang di sampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer melalui karya karyanya, wajar saja jika hampir setiap tahun ia selalu masuk dalam nominasi penghargaan Nobel kategori Sastra. Di Eropa dan Barat karya sastra Pram sangat di hargai, bahkan novel karyanya yang pernah dicekal pada masa Orde Baru itu, menjadi salah satu materi mata kuliah sastra bandingan di Queen Mary University of London, Inggris. Tapi sayang, di Indonesia karyanya tak begitu di kenal di kalangan masyarakat luas, persis sama dengan nasib Pram sendiri yang hampir setengah hidupnya dihabiskan dalam pengasingan sebagai tahanan politik tanpa melalui proses peradilan.

    Enam halaman baru terlewati, tiba-tiba di luar ada yang mengetuk pintu rumah ku, aku bergegas membuka pintu. Seorang wanita dengan hijab berwarna coklat telah berdiri sedari tadi menunggu di depan rumah. 

"Damaaaaaaar!" Pekiknya saat melihat ku.

"Oy, Wulan. Uji ku Lebaran di Bandung kau." Sambut ku terkejut.

"Dak ah, mano pacak aku man dak lebaran di dekat sahabat tersyang aku nih." Ia menimpali

"Ayo Masok, wai la kangen nian aku samo kau nih." Ajak ku sambil menarik tangannya masuk ke rumah.

    Wulan adalah sahabat Karibku sejak kecil, sekarang ia sedang melanjutkan S1 jurusan Design di salah satu Universitas Swasta di Bandung. Ia pulang setahun sekali saat libur lebaran saja, dan pasti ke rumah ku jika ia pulang ke Lubuk Linggau. Di ruang tamu, kami bercengkrama dengan leluasa dan saling bertukar cerita tentunya.

"Mano oleh-oleh punyo aku?" Ku mulai dengan meminta

"Itu lah, kebiasaan nian setiap betemu dak nian nak nanyo kabar aku. Pasti oleh-oleh tu lah yang di tanyoi duluan." Dengan wajah kesal

"Aku la tau kabar kau pasti baek, kau tuna yang kebiasaan kalo nak balek pasti dak pernah nak ngabari. Man ngabari aku pacak nyemput kau di bandara sambel bentangi karpet merah untuk nyambut kedatangan kau." Ledek ku

"Dem lah, aku tau siapo kau. Yang ado laju mahal lah ongkos ojeknyo dari pado ongkos pesawat." Ia balik meledek.

    Layaknya seorang sahabat yang lama tak bertemu, Aku dan Wulan memecahkan kerinduan lewat obrolan dengan berbagi kisah. Di tengah obrolan berlangsung, ia mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya, setelah ku lihat, sebuah kotak jam dengan brand kesukaan ku. Aku senang bukan kepalang, Bagi ku oleh-oleh yang ia berikan pada ku sungguh di luar dugaan ku, sebuah jam tangan yang sangat aku idamkan.

"Nah, Biar kau ingat Waktu dan semoga pacak menghargai waktu. Jangan selalu mengutuk waktu sebab waktu adalah roda kehidupan, semakin kau terlena dengan zona nyaman kau, kau akan selalu di kalahkan oleh waktu. Waktu itu ibarat pedang, barang siapa yang tidak bisa menggunakannya dengan baik dan bijak maka ia akan membunuh diri mu sendiri. Dak pernah ado waktu yang salah, yang salah itu wong yang menggunokan waktu itu dewek. Sekarang tinggal kau pilih, Hilang di telan waktu oleh kelalaian atau Terbilang bersama detik yang terus berjalan dengan segalo kemampuan yang kau punyo untuk berkembang." Ia menceramahi aku

"Nah, Laju Tausiah nian bibik ini. Ikhlas dak ngenjok jam nih." sambutku dengan senyum menggoda.

" Cak itulah kau, Mar, dak galak nian di oceh demi kebaikan." Gerutunya

"Iyo Dengar aku dari tadi. Oh iyo, agek malam kito jalan yo, ado tempat nongkrong yang lagi hits di linggau nih". Ajak ku sambil mengalihkan pembicaraan

"Jadi, abis Isya' gek ke rumah be yo. Aku nunggu." Ia mengiyakan ajakan ku.

"Oke, siap Neng Geluisssss!!!"

"Aku balek dulu, dak teraso la sore hari nih. Jangan lupo di pake jam tuh." Pintanya sambil berjalan kearah pintu

"Oh, tentu. Oh iyo, lupo ngucap mokaseh aku. Jangan kapok bawak oleh-oleh untuk aku, hehe." Kembali ku menggodanya saat mengantarnya menuju beranda rumah.

    Hampir dua jam lebih kami bercengkrama, hingga tak terasa rembang senja di kaki langit telah siap mengantarkan sang Surya kembali ke peraduannya. Wulan pulang kerumahnya yang tidak begitu jauh dari rumahku, sedang aku melanjutkan bacaan yang sempat tertunda oleh kehadiran sahabat karib ku itu. Sembari menanti adzan, ku setel lagu yang ada di mp3 smartphoneku untuk menemani bacaanku.

_________

    Tepat jam 20.00 wib, aku menepati janjiku untuk mengajak Wulan melewati malam duduk di tempat biasa aku nongkrong, kedai kopi Panggung Kreasi depan kompi. Aku sebenarnya ingin mengajak Wulan ke kompi dengan mengendarai motorku, biar lebih terasa menyatu dengan alam saat mengitari kota malam hari, tapi Wulan lebih suka bepergian dengan mobil saat malam hari "dingin katanya" kalo dengan motor. Lalu motor, ku titipkan di rumah Wulan.

    Seperti biasa, suasana di sana selalu ramai oleh para pecinta kopi, khususnya kaum milenial. Konsep ala proletar di ruang terbuka yang menyajikan suasana berbeda dari kebanyakan kedai kopi lainnya dengan harga bersahabat tapi tetap mengutamakan cita rasa, membuat siapa saja betah berlama - lama menghabiskan waktu bercengkrama bersama sahabat atau dengan orang - orang tersayang sambil mendengarkan live musik yang di sajikan oleh pemilik kedai. Aji, sang pemilik kedai selalu menyabut dengan ramah setiap pelanggan yang datang dengan gayanya yang khas selalu memberi kesan di hati setiap pelanggan. 

"Ai yong, gebetan baru tuh." Aji menyapa ku dan curi-curi pandang pada Wulan yang datang bersama ku.

"Ah kau ni, kebiasaan setiap aku ngajak cewek pasti ngomong cak itu. Nah kenali kawan aku, dio kuliahnyo di bandung mangkonyo dak pernah aku ajak kesini." Sambil memperkenalkan Wulan Pada Aji.

"Hai mbak, Aji!!" Sambil mengulurkan tangan "Manis nian yong." Dengan nada lirih Aji berbisik padaku.

"Hai, Wulan kak." Sambut Wulan.

"Wajarlah baru nengok, biasonyo abang kito nih dengan Bella kesini." Aji melanjutkan

"Iyo kak, Soal nyo aku di Bandung kak, pas lebaran bae biasonyo balek ke Linggau nih." Wulan menjelaskan

    Aji pun segera memberi menu dan menyiapkan tempat duduk (Lesehan), kupesan kopi yang biasa kuseruput kopi Toraja dan Wulan dengan pesanannya, Es teh Tarik dan jamur saos tiram. Sembari menunggu pesanan, aku dan Wulan memulai obrolan yang sempat tertunda tadi siang saat di rumahku. Suasana malam itu memang lagi syahdu-sayhdunya, bulan dengan sempurna tersenyum di temani taburan bintang yang membuat langit malam terlihat begitu indah.

"Siapo Bella, Mar?" Tanya Wulan.

"Bella tu kawan kampus aku, ngapo emang?" Jelas ku sambil menanyakan maksud pertanyaan Wulan.

"Dak ado, cuma nanyo bae. kalu bae cewek kau Mar, agek laju cemburu pulo dio man tau kalo kau lagi dengan aku". Wulan menegaskan

"Ah, biaso bae. Ngapoi laju nak cemburu, cuma kawan biaso be. Lagian jugo, siapo nak ngelarang aku jalan samo sahabat kesayangan aku nih". Kugoda dia sambil tersenyum. 

"Nah, cocok dengan kau jam tu, Mar!". Ia memujiku dengan jam tangan baru

"Oh iyo dong, dari siapo dulu kalo bukan dari sahabat aku nih". Sambil kucubit pipinya

"Ah, Pacak nian kau nih Mar, nyenangi hati wong!!" Ia balas mencubit bahuku.

    Pesanan telah tersedia, dan kami pun segera melahap makanan dan minuman yang telah di pesan. Obrolan berlanjut, Aku dan Wulan larut dalam obrolan malam itu, sesekali gelak tawa terlepas dari mulut kami berdua tanpa menghiraukan mereka yang ada di sekitar kami. Semilir angin menambah kesejukan dan kesyahduan malam, riuh suara kendaraan yang berlalu lalang melengkapi semaraknya suasana.

    Sedang asik - asiknya mengobrol mata ku teralihkan pada sosok wanita yang sedang berjalan dengan seorang pria mendekati kedai sang kopi. Aku menebak dari kejauhan, "itu bukannya Bella dan Vieri?" tanya ku dalam hati. Lalu ku alihkan lagi perhatian pada sahabatku Wulan dan kembali dalam obrolan.

"Dari tadi kito nih nganar, kemano mano obrolan sampai lupo aku nanyo kisah asmara kau nih, Lan." Tanyaku Kepo

"Ai, jadilah dak usah bahas masalah asmara. Bahas masalah laen be Mar, malas aku ngomong masalah cinta tu." Ia mencoba menawarkan obrolan lain

"Nah kan, kalo wong nanyo itu berarti peduli. Kalu bae man lagi jomblo nak aku kenali dengan kawan-kawan aku di sini." Aku memancing pembicaraan.

    Baru saja ia mau menjawab, tiba-tiba kedua orang yang ku lihat dari kejauhan itu mendekat dan langsung menyapaku. Obrolan ku dan Wulan terhenti oleh kehadiran mereka dan benar saja, Bella dan Vieri yang sedari tadi menyita perhatian ku, lalu Aku persilahkan mereka duduk dan Vieri langsung memanggil si Aji untuk memesan minuman.

"Aji, seperti biasa. Pahit tapi jangan telalu pahit cak kisah asmaramu yo, yang manis di awal, hambar di tengah pahit di ujung." Vieri Meledek Aji disertai dengan tawa kecil kami yang mengiringi ucapannya

"Kamvreeet lah." Sambil mengacungkan jari tengah kepada Vieri.

    Dalam hati, aku kembali menebak alur kisahku dan Bella, "sepertinya aku harus siap kehilangan Bella, dan belajar mengikhlaskan rasaku padanya." Aku ngedumel dalam hati. 

    Ku perkenalkan Wulan pada Bella dan Vieri. Setelah perkenalan, tanya itu, ini, dan anu sperti biasa, kami mulai membuka obrolan yang di awali oleh ku yang menentukan arah diskusi. Aku menggiring opini pada persoalan pendidikan yang ada di Indonesia dan setelah terpantik, kami lebur dalam perbincangan dengan statemen masing - masing dan berkomentar dari sudut pandang yang berbeda. Aku memberi pendapat dengan basic Sastra ku, begitupun dengan yang lainnya dengan pendapat yang berbeda. Dari perbincangan itu, dapat kusimpulkan apa yang tertuang dalam forum kecil itu yang kira-kira begini kesimpulannya:

    Masalah utama di Negara +62 ini adalah Pendidikan,  pendidikan menjadi ajang pembentukan karakter bangsa sehingga kualitas Pengajar menjadi indeks kemajuan dalam pendidikan di Indonesia. Bicara pendidikan memang  tak terlepas dari Literasi. Kurangnya minat membaca di kalangan masyarakat, khususnya kaum milenial sehingga membuat tatanan kehidupan sosial menjadi lebih tak terkendali dalam mengimbangi arus globalisasi.

    Hilangnya budaya saling sapa di setiap momen perkumpulan atau pertemuan, ajang silaturahmi yang biasanya penuh dengan kesan yang begitu berharga berganti dengan kesibukan masing-masing dengan  layar smartphone sehingga suasana penuh dengan kebosanan. Begitupun di tatanan keluarga, berkumpul di ruang tamu hanya menjadi kebiasaan saja namun pada hakikatnya mereka hanya sekedar bicara seadanya tanpa makna. Smartphone tak ubah bagai sebuah tagline "Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat" kata itu memang telah melekat kuat.

    Mengapa hoaks dan kekecauan yang terjadi akhir-akhir ini semakin marak, semua itu diakibatkan oleh minimnya literasi diantara kita khususnya kaum milenial. Sehingga kita lebih cepat mencerna masalah dengan emosi daripada dengan berpikir. Kalau bukan kita yang hari ini sebagai pemuda, lalu siapa lagi yang harus sadar diri dan melanjutkan dengan menyadarkan teman-teman yang lain untuk terus meningkatkan kemampuan literasi?

    Literasi menjadi tugas kita bersama sebagai penerus peradaban, dalam mensosialisikan minat membaca dan menumbuh-kembangkannya. Bukankah Negara yang literat dengan sendirinya akan mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan? Sehingga suatu negara akan sulit dipengaruhi atau bahkan dikuasai. Semua Negara maju didunia adalah negara yang literat. Untuk itulah pentingnya, para pemuda-pemudi Indonesia mendukung budaya literasi secara besar-besaran agar akibat dari literasi rendah bisa teratasi. Sehingga masyarakat kita mampu bersaing bukan hanya secara nasional tetapi juga global. Dengan begitu, Indonesia akan diperhitungkan dikanca dunia. 

    Kulihat jam tanganku, waktu telah menunjukan pukul 23.25, bersamaan dengan itu kami akhiri kebersamaan malam itu dan pulang kerumah. Bella dengan Vieri sedang aku dengan sahabat kecilku Wulan melangkah kearah yang sama (parkiran) menuju kendaraannya masing-masing Kami dengan Jazz warna jingga dan Mereka dengan Yaris warna Pink, perlahan beriringan lalu berpisah menuju arah yang berlawanan.

    Jalanan lengang sehingga mobil yang ku kendarai melaju cukup kencang, di antara Perasaan yang bercampur aduk pun dengan pertanyaan yang sama kembali muncul, ku pacu mobil sedikit kecang agar segera cepat sampai ke rumah. 10 menit berselang aku telah berada di kamar, rasa kantuk menggoda dan mengajakku agar aku lekas pejamkan mata namun disisi lain rasa resah masih saja mengejekku dan itu menjengkelkan. Pada akhirnya aku memilih kantuk sebagai teman supaya istirahatku terasa tenang, resah tak ku hiraukan lalu mataku pejamkan dan tak lupa kuucapkan selamat malam pada semsesta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LPRS 12

LPRS 1

Semi;Colon